Minggu, 03 April 2011

Konsep Khilafah. Bolehkah?

khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas tertentu ? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman (mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian ? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal: 17). Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah –dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS. Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat, padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol) bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada, seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena –seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana, dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib ‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan berakhirlah masa ujian bagi manusia.
Manusia Wajib Berhukum dengan Hukum Allah
Berangkat dari misi manusia sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) di muka bumi, maka manusia harus beramal sesuai dengan apa yang dikehendaki (diridhai) oleh-Nya. Segala amal manusia yang selaras dengan kehendak Allah sehingga mendatangkan keridhaan-Nya itulah yang dinamakan sebagai ibadah.
Salah satu sifat Allah yang terpenting adalah keadilan. Karena manusia merupakan pengganti Allah di bumi maka manusia wajib menegakkan keadilan di bumi. Keadilan akan tercapai apabila manusia menegakkan hukum-hukum Allah. Keadilan yang dilandaskan pada hukum-hukum Allah merupakan keadilan yang hakiki karena Allah merupakan dzat yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Allah menurunkan hukum-hukum-Nya melalui utusan-utusan-Nya, yang membawa ajaran-ajaran dan kitab-kitab-Nya. Oleh karena itu, berhukum dengan kitab Allah merupakan satu-satunya jalan mencapai keadilan hakiki.
Hukum Menegakkan Khilafah (Negara)
Secara umum terdapat dua arus pemikiran utama mengenai hukum menegakkan negara. Golongan pertama mengatakan bahwa negara wajib ditegakkan. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa wajibnya penegakan negara didasarkan pada nash. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan pada akal. Sebagian yang lainnya lagi mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan oleh nash sekaligus akal.
Golongan kedua mengatakan bahwa negara boleh ditegakkan, namun tidak harus. Yang harus adalah tegaknya hukum-hukum Allah dan tercapainya ketertiban dalam kehidupan manusia. Golongan ini memiliki pola berpikir yang sangat idealis. Mereka berpikir bahwa apabila semua manusia memiliki kebijaksanaan maka secara otomatis tatanan masyarakat akan tertib dan hukum-hukum Allah akan tegak. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mungkinkah itu terjadi ? Mungkinkah setiap manusia akan memiliki kebijaksanaan tanpa ada satupun yang berperangai dan berbuat jahat ?
Titik temu diantara kedua golongan diatas ialah bahwa tegaknya hukum-hukum Allah merupakan suatu keharusan. Setelah kita memahami bahwa hukum-hukum Allah tidak akan mungkin bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya kepemimpinan (negara), maka kita pun sampai pada kesimpulan bahwa negara wajib ditegakkan. Alasannya, negara merupakan wasilah menuju tegaknya hukum-hukum Allah. Apabila suatu kewajiban tidak bisa dicapai kecuali melalui suatu wasilah yang pada asalnya tidak wajib sekalipun, maka wasilah itu menjadi wajib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Pengikut